Pesantren Bogor Boarding School, Boarding school Bogor, Sekolah Tahfidz Terdekat, Sekolah Tahfidz Quran Bogor, Sekolah Tahfidz Quran di Bogor, Pondok Tahfidz Terdekat, Pondok Tahfidz Bogor, Pondok Tahfidz di Bogor, Pondok Tahfidz Jabodetabek, Pondok Pesantren Tahfidz Jabodetabek, Pondok Tahfidz Jawa Barat, Pesantren Ciseeng, Pesantren Ciseeng Bogor, Pesantren di Ciseeng Bogor, Pondok Pesantren Ciseeng
Qanaah adalah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Orang yang memiliki sifat qana’ah memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada didirinya adalah kehendak Allah .
Hakikatnya dalam Ilmu Tasawuf, seseorang akan merasa cukup walau penghasilannya kurang atau justru tambah bersyukur jika penghasilan/rezekinya bertambah. Artinya saat pajak naik sampai 300 persen dari Rp 3,5 juta menjadi rp 10 juta maka dia akan bersyukur, namun saat insentif turun 50% tinggal Rp 5 juta dia tetap bersyukur (memang berat yaa sifat Qanaah ini). Qanaah akan menyebabkan seseorang mudah bersyukur. Perhatikan firman Allah swt berikut:
“ Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS 14:7)”
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (QS 4:147)”
Fungsi qana’ah
Menurut ulama ada dua fungsi utama Qanaah, yakni:
a. Lapang dada : seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tenteram, merasa kaya dan berkecukupan, dan bebas dari keserakahan.
b. kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk meraih kemengan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia ALLAH SWT.
Salah satu nama Alquran adalah asy-Syifa yang berarti obat penyembuh, Alquran adalah penawar segala penyakit, baik fisik, hati maupun jiwa.
Dalam surat al-Isra’ ayat 82, Allah Swt berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata “syifa’ / obat” dalam ayat tersebut.
Pendapat pertama mengartikan obat dalam ayat tersebut sebagai obat yang berkenaan dengan penyakit hati
Pendapat kedua, al-Qur’an sebagai obat penawar penyakit lahir seperti sakit kepala, infeksi dan lain sebagainya.
Berikut ini beberapa argumen yang menguatkan pendapat kedua :
hadits-hadits Nabi tentang berobat dengan ayat al-Qur’an
Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan ihwal berobatnya Rasulullah dengan menggunakan ayat al-Qur’an. Di antaranya hadis riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai, bahwa mula-mula Rasulullah melindungi diri dari segala penyakit dan serangan musuh dengan bacaan ta’awwudz dan beberapa kalimat dzikir. Namun setelah turunnya surat al-Falaq dan al-Nas, beliau mencukupkan dengan kedua surat tersebut dan meninggalkan selainnya.
2. berdasarkan kaidah ushuliyyah. Kaidah yang populer di kalangan pakar ushul fiqh mengatakan:
اِنَّ الْكَلَامَ اِذَا احْتَمَلَ التَّأْكِيْدَ أَوِ التَّأْسِيْسَ فَحَمْلُهُ عَلَى الثَّانِيْ أَرْجَحُ “Pembicaraan apabila memungkinkan mengarah kepada pengukuhan (substansi yang sudah pernah disampaikan) atau mendasari (substansi baru yang belum pernah tersampaikan), maka mengarahkannya kepada yang kedua adalah lebih unggul”.
Dalam konteks ini, mengarahkan QS al-Isra’ ayat 82 kepada obat penyakit lahir lebih utama sebagai informasi baru yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Hal ini lebih baik ketimbang mengarahkannya kepada pemahaman al-Qur’an sebagai obat penyakit batin yang sudah banyak dijelaskan ayat-ayat lain.
Kepada sahabat yang sakit, Nabi kerap kali berpesan, Bagi kalian ada obat penyembuh, yakni madu dan Alquran. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim). Sebagai asy-Syifa, orang beriman diimbau banyak membaca Alquran, karena ia adalah obat penyembuh
Al-Quran adalah kalamullah yang menjadi tuntunan umat muslim di seluruh dunia. Al-Quran menjadi sumber hukum utama umat muslim dalam menjalankan segala seri kehidupannya. Selain menjadi sumber hukum, membaca Al-Quran juga merupakan ibadah yang bernilai pahala.
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, dan satu kebaikan tersebut dilipatkan gandakan menjadi 10 kebaikan semisalnya. Aku tidak mengatakan Alif-Lam-Mim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menjelaskan bahwa membaca Al-Quran merupakan amalan yang bernilai pahala berlipat ganda. Umat muslim yang membaca Al-Quran akan tetap mendapat pahala walaupun ia tidak memahaminya. Dalam mentafsirkan Al-Quran, seseorang membutuhkan cabang ilmu bahasa arab dan kaidah lain yang diperlukan. Sedangkan dalam tadabbur Al-Quran tidak diperlukan ilmu-ilmu tersebut. Imam Nawawi dalam beberapa kitabnya menjelaskan bahwa ulama-ulama zaman dahulu ketika tadabbur Al-Quran membutuhkan waktu yang sangat lama. Baik itu mentadabburi, menafsirkan, maupun tidak memperhatikan kata-katanya, atau bahkan tidak tahu kandungan yang ada di dalamnya. Walaupun begitu, membaca tanpa mengetahui arti akan tetap mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Namun membaca Al-Quran dengan mengetahui arti dan meresapi isi tentunya akan mendapatkan pahala yang lebih besar.
Isra Miraj adalah peristiwa bersejarah yang tertulis dalam Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1 dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang menjadi bagian perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di Kota Makkah. Selama mengalami Isra Miraj, ada beberapa hal menarik yang dilalui Nabi Muhammad SAW. 7 Hal Menarik Tentang Isra Miraj :
Tahun Duka Cita Nabi Muhammad Dalam sejarah, tahun tersebut penuh duka cita bagi Nabi Muhammad SAW karena sang istri, Khadijah dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Kondisi tersebut membuat Nabi Muhammad mengalami masa-masa pelik hingga harus menenangkan diri di Masjidil Haram.
Perjalanan dengan Buraq Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: (tanpa menyebutkan peristiwa pembelahan dada)… “Aku telah didatangi Buraq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut mencapai ujungnya.” Beliau bersabda lagi: “Maka aku segera menungganginya sehingga sampai ke Baitul Maqdis.”
Menuju Masjid Al-Aqsa Setibanya Nabi Muhammad di Masjid Al-Aqsa langsung mengerjakan salat sebanyak 2 rakaat. Setelah itu, peristiwa Mikraj terjadi. Dijelaskan dalam jurnal tersebut bahwa didatangkan sebuah alat seperti tangga yang memiliki tingkatan untuk naik ke atas. Peristiwa Miraj atau Mikraj terjadi ketika muncul tangga tersebut hingga melewati lapisan langit dan menuju ke tingkat ketujuh.
Perjalanan ke Langit Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad diceritakan mengalami perjalanan spiritual menuju Sidratul Muntaha atau langit ke 7. Peristiwa besar tersebut menuai berbagai perdebatan dari para ulama karena di luar kemampuan logika manusia.
Berjumpa Para Nabi Ketika Nabi Muhammad mengalami serangkaian perjalanan menuju Sidratul Muntaha, terjadi pertemuan dengan beberapa nabi pendahulu. ada 8 nabi yang ditemui Rasulullah SAW.
Perintah Salat 5 Waktu. Perintah salat pada awalnya dilaksanakan sebanyak 50 waktu dalam sehari. Kemudian Nabi Muhammad SAW memohon kepada Allah untuk memberikan keringan. Akhirnya Allah SWT mengabulkan permintaan Nabi Muhammad dan memerintahkan untuk menjalankan salat 5 waktu dalam sehari.
Bukti Kebesaran Allah Merujuk pada buku Kisah Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW oleh Syofyan Hadi, Isra Miraj termasuk peristiwa agung yang merekam risalah Nabi Muhammad SAW. Kejadian tersebut dianggap sebagai mukjizat dan kebesaran Allah SWT.
Peristiwa yang dialami Nabi Muhammad dari Makkah menuju Baitul Maqdis lalu tiba di langit ketujuh merupakan perjalanan yang jauh dan sulit diterima akal sehat karena butuh penjelasan secara logika. Kendati begitu, peristiwa tersebut tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1.
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekeliling agar Kami perlihatkan ke arahnya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Itulah 7 hal menarik tentang Isra Mikraj yang merangkum perjalanan Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntahan atau langit ketujuh.
Santri Utrujah Mengikuti Program Pembelajaran Karakter
Anak adalah ujian bagi orang tuanya. Jika kita mampu bersabar dalam mendidik mereka tentu akan ada balasan pahala dari Allah, dan kelak kita akan menuai buah dari kesabaran yang manis bagaikan madu. Yaitu ketika mereka telah dewasa, kala mereka telah terbiasa dan terdidik dengan kebaikan yang kita ajarkan dan mereka menjadi manusia yang taat pada Rabbnya. Doa-doa yang selalu mereka panjatkan untuk kita adalah harta dan investasi yang tak ternilai harganya. Lalu seperti apa saja aplikasi kesabaran dalam mendidik anak? Mendidik anak itu tidak mudah, akan ada banyak rintangan. Memupuk kesabaran juga bukan perkara gampang. Bukankah kita tahu bersama bahwa jalan menuju surganya Allah penuh dengan hal-hal yang tidak kita sukai apalagi wanita memang memiliki sifat suka berkeluh kesah. Jadi bersemangatlah berusaha menjadi ibu yang sabar.
Berikut adalah Cara sabar dalam mendidik anak :
Berlatihlah untuk sabar, dan ini harus bertahap tidaklah mungkin akan langsung bisa.
Berdoa pada Allah agar menyuburkan sifat sabar dalam jiwa kita.
Membaca tentang keutamaan sifat sabar dan juga kisah Nabi dan shahabat serta orang-orang shalih ketika mendidik anak-anak mereka.
Sabar itu bisa naik dan turun, maka rajinlah mencharge kesabaran kita dengan banyak membaca, menghadiri majelis ilmu, serta berkawan dengan teman yang shalihah agar bisa menasehati kita untuk bersabar.
Saling mengingatkan dengan partner kita dalam mendidik anak, yaitu suami kita.
Bukalah mata kita, banyak orang tua yang belum dikaruniai anak atau dikaruniai anak namun memiliki ‘keterbatasan’ yang menjadikan anak sukar dididik. Ingatlah hal itu sehingga dengan itu kita akan banyak bersyukur dan berusaha keras memupuk kesabaran dalam mendidik anak-anak kita. Selalulah ingat bahwa anak adalah invetasi kita di akhirat kelak. Ibarat bercocok tanam, tanamlah benih unggul dan sabarlah merawatnya, maka kelak kita akan menyemai buah yang ranum.
Peristiwa Perang Yamamah Sebagian kaum muslimin mungkin hanya mengenal sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq rhodiyallohu ‘anhu sebagai sosok Khalifah pertama yang berhasil menyatukan kembali barisan kaum muslimin setelah munculnya kaum murtaddin. Namun jika melihat sejarah kepemimpinan beliau lebih mendalam, akan kita sadari bahwa sahabat terbaik ini telah membuat sebuah keputusan cerdas yang menjadi langkah awal penulisan Al-Quran dalam sebuah mushaf.
Kisah ini berawal saat kaum muslimin dihadapkan dengan segerombolan kelompok yang memilih murtad dari agama islam. Alih-alih tetap berada di jalan yang lurus, mereka justru memilih berpaling dari ajaran Nabi Muhammad sholllallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan diantara mereka ada yang memilih untuk mendukung si nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab.
Menanggapi hal tersebut, Abu Bakar kemudian mengutus 11 batalion pasukan ke berbagai penjuru negri. Ikrimah bin Abi Jahal rhodiyallohu’ anhu ditunjuk sebagai panglima untuk memimpin pasukan ke daerah Yamamah, tempat Musailamah Al-Kadzab.
Peperangan berlangsung dengan amat sengit, kaum muslimin dilanda kesulitan yang amat berat. Disaat demikian, muncul seseorang yang mengobarkan kembali semangat jihad dengan sebuah teriakan:
يا أصحاب سورة البقرة، يا أهل القرآن زينوا القرآن بالفعال
“Wahai para penghafal surat Al-Baqoroh, wahai para penghafal Al-Quran, hiasilah Al-Quran dengan perbuatan kalian (jihad)”
Dengan izin Allah subhanahu wata’ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur barisan musuh dan mengepung mereka. Peperangan berakhir dengan tewasnya Musailamah Al-Kadzab di tangan Wahsyi rhodiyallohu ‘anhu.
Jumlah korban dari barisan musuh mencapai belasan ribu. Sedangkan jumlah syuhada dari kaum muslimin sekitar 1200 orang. Satu hal yang perlu gita garis bawahi, banyak diantara pasukan yang gugur merupakan para penghafal Al-Quran.
Fakta diatas kemudian memunculkan kekhawatiran dalam diri Umar bin Khotob rhodiyallohu ‘anhu. Sang Al-faruq akhirnya menyampaikan usulan kepada Abu Bakar untuk menuliskan Al-Quran dalam lembaran-lembaran yang disatukan (shuhuf).
Saat pertama kali mendengar usulan tersebut, Abu bakar menolaknya dengan alasan bahwa Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tak pernah memerintahkannya. Namun setelah Umar berulangkali membujuk, akhirnya Allah subhanahu wata’ala melapangkan dada Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit rhodiyallohu ‘anhu untuk memimpin proyek besar tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab Zaid merupakan sosok yang paling memenuhi kriteria untuk mengemban tugas penting ini, sebagaimana diungkapkan langsung oleh Abu Bakar:
“Sesungguhnya engkau (Zaid) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” (HR Al-Bukhori)
Mendengar permintaan tersebut, Zaid merasa amat berat untuk melaksanakannya. Ia bahkan mengungkapkan:
“Demi Allah sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni mendokumentasikan alquran.” (HR Bukhori)
Allah subhhanahu wata’ala akhirnya melapangkan dada Zaid untuk mengemban tugas tersebut. Ia bergegas mengumpulkan Al-Quran dari berbagai media yang dahulu digunakan untuk menuliskan wahyu di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, seperti pelepah kurma, batu yang pipih dan kulit binatang. Disamping itu, ia juga memanfaatkan hafalan para sahabat Nabi rhodiyallohu ‘anhum ajma’in.
Mengapa Al-Quran tidak dikumpulkan dalam sebuah mushaf di zaman Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam?
Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Para ulama menjelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, diantaranya ialah:
Al-Quran tidaklah turun secara sempurna kecuali menjelang wafatnya Nabi Muhammad shollalohu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak tepat jika mushaf sudah dituliskan saat Nabi masih hidup, sebab wahyu masih terus turun dan belum sempurna.
Selama Nabi masih hidup, akan ada kemungkinan terdapat ayat yang dimansukh (dihapuskan). Sehingga jika saat itu Al-Quran dituliskan dalam satu mushaf, justru akan menimbulkan kesulitan saat ada ayat yang dimansukh.
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (AlHijr: 106)
Dua faktor diatas kemudian hilang seiring wafatnya Nabi Muhammad shollallohuu ‘alaihi wasallam. Sebab saat itu Al-Quran telah sempurna dan tak ada lagi kemungkinan adanya ayat yang dimansukh.
Kesadaran (Kebersihan membutuhkan kesadaran penuh, menciptakan koneksi spiritual dengan lingkungan dan Tuhan)
Kesederhanaan (Menjaga kebersihan tanpa kelebihan atau pemborosan mencerminkan nilai kesederhanaan yang dihargai dalam ajaran spiritual)
Bersyukur (Merawat kebersihan sebagai bentuk syukur atas karunia lingkungan yang diberikan oleh Tuhan)
Kedisiplinan (Kebersihan mencerminkan kedisiplinan, sebuah nilai yang ditekankan dalam banyak ajaran spiritual). Dengan menjaga kebersihan, santri tidak hanya merawat lingkungan fisik tetapi juga membentuk karakter spiritual yang sejalan dengan nilai-nilai agama.
Peran santri dalam menjaga kebersihan lingkungan pesantren memiliki dampak yang mendalam, mencakup aspek fisik, spiritual, dan sosial. Santri bukan hanya menjalankan tugas fisik membersihkan, tetapi juga membentuk karakter spiritual melalui nilai-nilai seperti ketertiban, ketulusan hati, kesadaran, kesederhanaan, kedisiplinan, bersyukur, penerimaan, dan kepedulian. Melalui program gotong royong, edukasi kebersihan, pengelolaan sampah yang baik, lingkungan hijau, santri dapat menjadi agen perubahan dalam mewujudkan lingkungan pesantren yang bersih, sejuk, dan nyama
Peran santri sangat penting dalam menjaga kebersihan bukan hanya untuk kesehatan fisik, melainkan juga sebagai bentuk ibadah, pengembangan karakter, dan kontribusi positif terhadap komunitas pesantren. Program santri bersih bersih ini juga sudah lama diterapkan dalam Pondok Pesantren Tahfidz Quran Utrujah Bogor. Seluruh penghuni bertanggungjawab atas kebersihan lingkungan pesantren.Dengan demikian, kebersihan di pesantren bukan hanya menjadi tanggung jawab praktis, tetapi juga menjadi wujud nyata dari nilai-nilai spiritual yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memasukkan anak ke pondok pesantren bukanlah keputusan yang mudah bagi kebanyakan orang tua. Di satu sisi, ini adalah upaya besar dalam memberikan pendidikan agama dan membentuk karakter yang kuat bagi anak. Di sisi lain, orang tua tentu ingin memastikan anak merasa nyaman dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya.
Untuk itulah, beberapa langkah bisa diterapkan agar anak dapat merasa betah di pondok pesantren. Berikut beberapa tips agar anak nyaman di pesantren yang bisa membantu mereka beradaptasi lebih cepat:
Memberikan Pemahaman yang Mendalam Sebelum Memulai Agar anak siap mental sebelum masuk pondok pesantren, berikan pemahaman tentang apa itu pesantren. Jangan sampai anak merasa seperti “dilempar” ke lingkungan baru tanpa tahu apa yang menantinya. Ceritakan dengan bahasa yang santai tentang kehidupan sehari-hari di pesantren serta manfaat yang akan mereka dapatkan.
Contohnya:
“Nak, di pesantren nanti kamu nggak cuma belajar agama, tapi juga belajar mandiri. Banyak hal seru yang bisa kamu dapat, seperti pengalaman tidur bareng teman-teman dan belajar dari ustadz-ustadz yang paham ilmu agama.”
Dengan pemahaman yang jelas, anak akan lebih siap secara mental dan tidak kaget dengan perubahan yang akan mereka alami.
Latih Kemandirian Sejak Dini agar Adaptasi Anak di Pesantren Lebih Mudah Di pesantren, anak-anak akan dituntut untuk mandiri – mulai dari mengurus keperluan sehari-hari seperti mencuci pakaian, membersihkan kamar, hingga mengatur jadwal belajar. Jadi, sebelum anak berangkat, beri kesempatan untuk “latihan mandiri” di rumah. Anak yang sudah terbiasa mandiri sebelum masuk pondok pesantren akan lebih mudah beradaptasi dan tidak mudah merasa tertekan.
Kenalkan Lingkungan Pesantren Sebelum Memulai Anak sering kali merasa overwhelmed saat pertama kali tiba di pondok pesantren. Agar anak nyaman di pesantren, ajaklah mereka berkunjung dulu ke pesantren sebelum resmi mulai tinggal di sana. Dengan cara ini, mereka akan lebih familiar dengan lingkungan baru yang mungkin terlihat asing di awal.
Misalnya:
“Ajak mereka berkeliling pesantren, tunjukkan asramanya, ruang makan, atau bahkan perkenalkan dengan beberapa santri atau ustadz agar ia bisa melihat bahwa tempat ini aman dan menyenangkan.”
Bangun Komunikasi yang Hangat dengan Anak di Pesantren Tetap berkomunikasi dengan anak saat mereka berada di pondok pesantren. Komunikasi yang baik bisa menjadi kunci utama agar anak betah di pondok pesantren. Jadwalkan waktu untuk menghubungi mereka secara rutin dan dengarkan cerita mereka.
Beri Motivasi dan Dukungan Moral yang Tepat Anak sering kali merasa ragu atau tidak yakin dengan alasan ia di pesantren. Ingatkan mereka tentang tujuan mulia dari pendidikan pesantren, seperti belajar agama lebih mendalam, memperkuat karakter, dan mengasah kemampuan mandiri. Dukungan moral ini sangat penting agar anak tetap semangat meskipun jauh dari rumah.
Contohnya:
“Nak, kamu tahu nggak? Di pesantren ini, kamu sedang membangun pondasi untuk masa depan. Ilmu yang kamu pelajari di sini nggak cuma buat sekarang, tapi buat bekal hidup ke depan.”
Motivasi ini bisa membantu anak merasa lebih percaya diri dan tidak mudah menyerah.
Jangan Terlalu Sering Mengunjungi agar Adaptasi Anak di Pondok Pesantren Berjalan Baik Rasa rindu pada anak yang jauh memang sering kali membuat orang tua ingin mengunjungi mereka. Namun, kunjungan yang terlalu sering justru bisa menghambat adaptasi anak di pondok pesantren. Sesekali kunjungi anak, tapi jangan terlalu sering – berikan mereka waktu untuk membiasakan diri dengan lingkungan barunya.
Cukup kunjungi setiap beberapa bulan sekali, agar anak bisa fokus beradaptasi dan tidak terlalu bergantung pada orang tua.
Bekali Anak dengan Barang yang Mengingatkan pada Keluarga Masuk ke lingkungan baru sering kali membuat anak merasa jauh dari rumah. Untuk mengurangi rasa rindu, bekali mereka dengan barang-barang yang bisa mengingatkan mereka pada keluarga, misalnya foto keluarga, surat motivasi, atau barang kesayangan dari rumah.
Contohnya:
“Ini foto keluarga kita, simpan di laci kamarmu. Kalau kamu lagi kangen, lihat foto ini ya. Kami selalu mendukungmu!”
Barang-barang ini bisa menjadi penghibur ketika mereka merasa rindu dan memberi semangat untuk tetap bertahan di pesantren.
Jalin Hubungan Baik dengan Pengasuh atau Ustadz Sebagai orang tua, penting juga untuk menjaga komunikasi dengan pengasuh atau ustadz/ustadzah yang mengasuh anak di pesantren. Hal ini membantu kita memantau perkembangan anak dari sisi mereka. Dengan begitu, kita akan lebih mudah mencari solusi jika anak mengalami kesulitan beradaptasi.
Hubungan baik dengan ustadz atau pengasuh akan membuat anak merasa diperhatikan dan mendapat dukungan dari kedua pihak, yaitu keluarga dan pesantren.
Ajarkan Anak untuk Bersosialisasi dengan Teman-Teman Santri Bantu anak memahami pentingnya bersosialisasi. Lingkungan baru kadang membuat anak merasa canggung. Dengan memiliki teman, anak akan lebih mudah merasa betah di pondok pesantren.
Beri nasihat agar mereka tidak sungkan berkenalan dan membangun persahabatan. Teman adalah sumber dukungan terbesar saat di pesantren.
Contohnya:
“Di sana, ada banyak teman seumuran kamu. Mereka juga jauh dari keluarga seperti kamu. Jadikan mereka teman dekat, kalian bisa saling bantu dan dukung satu sama lain.”
Berikan Waktu untuk Beradaptasi Tanpa Terlalu Memaksakan Setiap anak memiliki waktu adaptasi yang berbeda. Jangan langsung khawatir jika anak belum terlihat betah dalam beberapa minggu pertama. Berikan mereka waktu untuk menyesuaikan diri. Jika anak terus-menerus merasa stres, barulah konsultasikan dengan pihak pesantren.
Demikian adalah ikhtiar yang bisa orangtua lakukan sebelum memasukkan anaknya ke pesantren, semoga dapat membantu.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS Adh Dhuha ayat 11).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”
,”Dan sebagaimana kamu dahulu seorang yang sangat membutuhkan dan fakir, kemudian Allah cukupkan kamu, maka ceritakanlah kenikmatan Allah yang diberikan kepadamu. Seperti yang dimaksudkan dalam doa alma`tsur “ dan jadikanlah kami orang orang yang mensyukuri terhadap kenikmatanMu, dengan memujiMu dan menerimanya. serta sempurnakanlah kenikmatan tersebut atas kami.”
Syekh Abdurrahman assa`di menjelaskan tafsir dari ayat diatas, “
“(Dan terhadap nikmat Tuhanmu) Dan terhadap kenikmatan Rabbmu, yang mencakup urusan duniawi dan agama, (maka ceritakanlah) pujilah Allah dengan kenikmatan tersebut dan khususkan dengan penyebutan (kenikmatan yang dirasakan) jika ada kemaslahatannya. Bila tidak mengkhususkannya, maka sebutkan dengan ungkapan yang umum.
Dengan menceritakan kenikmatan Allah, akan membawa kepada rasa syukur kepadaNya, juga dapat menghantarkan hati untuk mencintai pihak yang telah memberikan kenikmatan. Karena hati terbiasa untuk mencintai pihak yang telah berbuat baik kepadanya”.
Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh bagaimana cara menceritakan nikmat dari Allah,
وعن عمرو بن ميمون قال إذا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَن يَثقُ بِه يقول له رَزَقَنِي اللّهُ مِن الصَّلَاةِ الْبَارِحَة كذا وكذا وَكَانَ أبو فراس عبد الله بن غالب إذَا أَصْبَحَ يقول لَقَدْ رَزَقَنِي اللّهُ البارِحَةَ كذا وقرأتُ كذا وصَلَّيْتُ كذا وَذَكَرْتُ الله كذا وَفَعَلْتَ كذا فقلنا له يا أبا فراس إِنّ مِثْلَكَ لَا يقول هذا قال يقول الله تعالى وَأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ وتقولون أَنْتُم لَا تَحدّثْ بنعمة الله Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa menceritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak semua orang meganggapnya baik, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas, menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap dengan menyebut nama Allah Swt.
Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).
Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?
Kalau riya’ adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia, untuk kemudian agar dipuji manusia.
والرياء بكسر الراء والمد ومثناة تَحْتِيَةُ إِظْهَارِ الْعِبَادةِ لِيَرَاها النَّاُس فَيَحْمَدُوْهُ Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.
Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan saja nikmat tersebut (ditutupi saja). Wallahu A’lam
Bagi orang tua memberikan kasih sayang adalah hal yang wajib untuk membangun karakter anak, akan tetapi sering kali tanpa sadar orang tua sulit membedakan antara kasih sayang dengan memanjakan anak dalam kehidupan harian, hal inilah yang terkadang menjadi kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Jika anak melakukan kesalahan alangkah baik nya orang tua memberikan nasihat yang lemah lembut serta memberikan hukuman yang menjadi edukasi jika diperlukan tanpa adanya perkataan kasar dan menyakiti perasaan anak.
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya kasih sayang itu tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang itu dicabut dari sesuatu, akan membuatnya buruk.” (HR Muslim). Sebagaimana dijelaskan dalam hadis diatas peran orang tua serta kasih sayang sangat menunjang perkembangan karakter anak agar anak memiliki pandangan serta perilaku yang positif dalam proses perkembangan nya.
Usia 0-6 Tahun. Rasulullah sendiri memulai proses ini ketika anak mulai memasuki usia 0-6 tahun. Karena pada usia ini anak akan merekam segala perilaku yang ditunjukan terhadap orang tua mereka oleh karena nya pada usia ini anak akan mudah berperilaku seperti yang orang tua tunjukan kepada nya.Seorang anak terlahir ke dunia dalam keadaan fitrah dan suci. Alangkah baiknya orang tua menanamkan nilai keimanan terhadap anak seperti mengenal Allah dan Rasul-Nya serta menanamkan pada anak ajaran Islam mulai dari mengajak nya untuk solat lima waktu berjamaah serta mengajarkan doa doa di dalam Islam.
Usia 7-14 tahun. Pada tahap ini Rasulullah mengajarkan pada orang tua untuk senantiasa membimbing anak serta mengajak anak untuk beribadah kepada Allah. Seperti memulai untuk mengerjakan solat tepat pada waktu nya serta mulai bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah diperbuatnya. Karena pada usia ini biasanya anak mulai mencoba berekspresi sesuai keinginan nya. Oleh karena itu pendidikan orang tua dan kedisiplinan terhadap anak akan membuat anak semakin berpikir tentang perbuatan nya serta pertanggung jawaban nya.
Usia 15-21 tahun. Pada tahap ini anak sudah mulai memiliki kemampuan intelektual yang sedikit lebih baik daripada fase sebelum nya. Oleh karena itu alangkah baik nya orang tua selalu membimbing anak dan membiarkan anak mulai mengamalkan ajaran yang telah diajarkan oleh kedua orang tua nya. Akan tetapi jika anak melakukan kekeliruan dalam bersikap, penting bagi orang tua untuk mengingatkan serta mengarahkan. Peran orang tua pada fase ini layak nya seorang teman yang bisa diajak diskusi serta menyelesaikan masalah agar anak lebih terbuka kepada orang tua dan hubungan dengan anak akan lebih dekat.