

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ [الضحى:11]
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS Adh Dhuha ayat 11).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”
,”Dan sebagaimana kamu dahulu seorang yang sangat membutuhkan dan fakir, kemudian Allah cukupkan kamu, maka ceritakanlah kenikmatan Allah yang diberikan kepadamu. Seperti yang dimaksudkan dalam doa alma`tsur “ dan jadikanlah kami orang orang yang mensyukuri terhadap kenikmatanMu, dengan memujiMu dan menerimanya. serta sempurnakanlah kenikmatan tersebut atas kami.”
Syekh Abdurrahman assa`di menjelaskan tafsir dari ayat diatas, “
“(Dan terhadap nikmat Tuhanmu) Dan terhadap kenikmatan Rabbmu, yang mencakup urusan duniawi dan agama, (maka ceritakanlah) pujilah Allah dengan kenikmatan tersebut dan khususkan dengan penyebutan (kenikmatan yang dirasakan) jika ada kemaslahatannya. Bila tidak mengkhususkannya, maka sebutkan dengan ungkapan yang umum.
Dengan menceritakan kenikmatan Allah, akan membawa kepada rasa syukur kepadaNya, juga dapat menghantarkan hati untuk mencintai pihak yang telah memberikan kenikmatan. Karena hati terbiasa untuk mencintai pihak yang telah berbuat baik kepadanya”.
Bagaimanakah cara ber tahadduts bi an-ni’mah?
Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh bagaimana cara menceritakan nikmat dari Allah,
وعن عمرو بن ميمون قال إذا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَن يَثقُ بِه يقول له رَزَقَنِي اللّهُ مِن الصَّلَاةِ الْبَارِحَة كذا وكذا وَكَانَ أبو فراس عبد الله بن غالب إذَا أَصْبَحَ يقول لَقَدْ رَزَقَنِي اللّهُ البارِحَةَ كذا وقرأتُ كذا وصَلَّيْتُ كذا وَذَكَرْتُ الله كذا وَفَعَلْتَ كذا فقلنا له يا أبا فراس إِنّ مِثْلَكَ لَا يقول هذا قال يقول الله تعالى وَأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ وتقولون أَنْتُم لَا تَحدّثْ بنعمة الله
Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa menceritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak semua orang meganggapnya baik, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas, menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap dengan menyebut nama Allah Swt.
Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).
Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?
Kalau riya’ adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia, untuk kemudian agar dipuji manusia.
والرياء بكسر الراء والمد ومثناة تَحْتِيَةُ إِظْهَارِ الْعِبَادةِ لِيَرَاها النَّاُس فَيَحْمَدُوْهُ
Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.
Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan saja nikmat tersebut (ditutupi saja). Wallahu A’lam