Memaknai Peristiwa Isra Miraj - Isra Miraj Dalam Alquran

Memaknai Peristiwa Isra Miraj – Isra Miraj Dalam Alquran

share

Isra Miraj adalah peristiwa bersejarah yang tertulis dalam Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1 dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang menjadi bagian perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di Kota Makkah. Selama mengalami Isra Miraj, ada beberapa hal menarik yang dilalui Nabi Muhammad SAW. 7 Hal Menarik Tentang Isra Miraj :

  1. Tahun Duka Cita Nabi Muhammad
    Dalam sejarah, tahun tersebut penuh duka cita bagi Nabi Muhammad SAW karena sang istri, Khadijah dan pamannya Abu Thalib meninggal dunia. Kondisi tersebut membuat Nabi Muhammad mengalami masa-masa pelik hingga harus menenangkan diri di Masjidil Haram.
  2. Perjalanan dengan Buraq
    Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda: (tanpa menyebutkan peristiwa pembelahan dada)… “Aku telah didatangi Buraq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut mencapai ujungnya.” Beliau bersabda lagi: “Maka aku segera menungganginya sehingga sampai ke Baitul Maqdis.”
  3. Menuju Masjid Al-Aqsa
    Setibanya Nabi Muhammad di Masjid Al-Aqsa langsung mengerjakan salat sebanyak 2 rakaat. Setelah itu, peristiwa Mikraj terjadi. Dijelaskan dalam jurnal tersebut bahwa didatangkan sebuah alat seperti tangga yang memiliki tingkatan untuk naik ke atas. Peristiwa Miraj atau Mikraj terjadi ketika muncul tangga tersebut hingga melewati lapisan langit dan menuju ke tingkat ketujuh.
  4. Perjalanan ke Langit
    Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad diceritakan mengalami perjalanan spiritual menuju Sidratul Muntaha atau langit ke 7. Peristiwa besar tersebut menuai berbagai perdebatan dari para ulama karena di luar kemampuan logika manusia.
  5. Berjumpa Para Nabi
    Ketika Nabi Muhammad mengalami serangkaian perjalanan menuju Sidratul Muntaha, terjadi pertemuan dengan beberapa nabi pendahulu. ada 8 nabi yang ditemui Rasulullah SAW.
  6. Perintah Salat 5 Waktu. Perintah salat pada awalnya dilaksanakan sebanyak 50 waktu dalam sehari. Kemudian Nabi Muhammad SAW memohon kepada Allah untuk memberikan keringan. Akhirnya Allah SWT mengabulkan permintaan Nabi Muhammad dan memerintahkan untuk menjalankan salat 5 waktu dalam sehari.
  7. Bukti Kebesaran Allah
    Merujuk pada buku Kisah Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW oleh Syofyan Hadi, Isra Miraj termasuk peristiwa agung yang merekam risalah Nabi Muhammad SAW. Kejadian tersebut dianggap sebagai mukjizat dan kebesaran Allah SWT.

Peristiwa yang dialami Nabi Muhammad dari Makkah menuju Baitul Maqdis lalu tiba di langit ketujuh merupakan perjalanan yang jauh dan sulit diterima akal sehat karena butuh penjelasan secara logika. Kendati begitu, peristiwa tersebut tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إ ِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَات ِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekeliling agar Kami perlihatkan ke arahnya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Itulah 7 hal menarik tentang Isra Mikraj yang merangkum perjalanan Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntahan atau langit ketujuh.

Sabar Dalam Mendidik Anak - Cara Sabar Dalam Mendidik Anak

Sabar Dalam Mendidik Anak – Cara Sabar Dalam Mendidik Anak

Santri Utrujah Mengikuti Program Pembelajaran Karakter
share

Anak adalah ujian bagi orang tuanya. Jika kita mampu bersabar dalam mendidik mereka tentu akan ada balasan pahala dari Allah, dan kelak kita akan menuai buah dari kesabaran yang manis bagaikan madu. Yaitu ketika mereka telah dewasa, kala mereka telah terbiasa dan terdidik dengan kebaikan yang kita ajarkan dan mereka menjadi manusia yang taat pada Rabbnya. Doa-doa yang selalu mereka panjatkan untuk kita adalah harta dan investasi yang tak ternilai harganya. Lalu seperti apa saja aplikasi kesabaran dalam mendidik anak?
Mendidik anak itu tidak mudah, akan ada banyak rintangan. Memupuk kesabaran juga bukan perkara gampang. Bukankah kita tahu bersama bahwa jalan menuju surganya Allah penuh dengan hal-hal yang tidak kita sukai apalagi wanita memang memiliki sifat suka berkeluh kesah. Jadi bersemangatlah berusaha menjadi ibu yang sabar.

Berikut adalah Cara sabar dalam mendidik anak :

  1. Berlatihlah untuk sabar, dan ini harus bertahap tidaklah mungkin akan langsung bisa.
  2. Berdoa pada Allah agar menyuburkan sifat sabar dalam jiwa kita.
  3. Membaca tentang keutamaan sifat sabar dan juga kisah Nabi dan shahabat serta orang-orang shalih ketika mendidik anak-anak mereka.
  4. Sabar itu bisa naik dan turun, maka rajinlah mencharge kesabaran kita dengan banyak membaca, menghadiri majelis ilmu, serta berkawan dengan teman yang shalihah agar bisa menasehati kita untuk bersabar.
  5. Saling mengingatkan dengan partner kita dalam mendidik anak, yaitu suami kita.
  6. Bukalah mata kita, banyak orang tua yang belum dikaruniai anak atau dikaruniai anak namun memiliki ‘keterbatasan’ yang menjadikan anak sukar dididik. Ingatlah hal itu sehingga dengan itu kita akan banyak bersyukur dan berusaha keras memupuk kesabaran dalam mendidik anak-anak kita. Selalulah ingat bahwa anak adalah invetasi kita di akhirat kelak. Ibarat bercocok tanam, tanamlah benih unggul dan sabarlah merawatnya, maka kelak kita akan menyemai buah yang ranum.

Gugurnya Para Penghafal Quran - Peristiwa Perang Yamamah

Gugurnya Para Penghafal Quran – Peristiwa Perang Yamamah

share

Peristiwa Perang Yamamah
Sebagian kaum muslimin mungkin hanya mengenal sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq rhodiyallohu ‘anhu sebagai sosok Khalifah pertama yang berhasil menyatukan kembali barisan kaum muslimin setelah munculnya kaum murtaddin. Namun jika melihat sejarah kepemimpinan beliau lebih mendalam, akan kita sadari bahwa sahabat terbaik ini telah membuat sebuah keputusan cerdas yang menjadi langkah awal penulisan Al-Quran dalam sebuah mushaf.

Kisah ini berawal saat kaum muslimin dihadapkan dengan segerombolan kelompok yang memilih murtad dari agama islam. Alih-alih tetap berada di jalan yang lurus, mereka justru memilih berpaling dari ajaran Nabi Muhammad sholllallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan diantara mereka ada yang memilih untuk mendukung si nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab.

Menanggapi hal tersebut, Abu Bakar kemudian mengutus 11 batalion pasukan ke berbagai penjuru negri. Ikrimah bin Abi Jahal rhodiyallohu’ anhu ditunjuk sebagai panglima untuk memimpin pasukan ke daerah Yamamah, tempat Musailamah Al-Kadzab.

Peperangan berlangsung dengan amat sengit, kaum muslimin dilanda kesulitan yang amat berat. Disaat demikian, muncul seseorang yang mengobarkan kembali semangat jihad dengan sebuah teriakan:

يا أصحاب سورة البقرة، يا أهل القرآن زينوا القرآن بالفعال

“Wahai para penghafal surat Al-Baqoroh, wahai para penghafal Al-Quran, hiasilah Al-Quran dengan perbuatan kalian (jihad)”

Dengan izin Allah subhanahu wata’ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur barisan musuh dan mengepung mereka. Peperangan berakhir dengan tewasnya Musailamah Al-Kadzab di tangan Wahsyi rhodiyallohu ‘anhu.

Jumlah korban dari barisan musuh mencapai belasan ribu. Sedangkan jumlah syuhada dari kaum muslimin sekitar 1200 orang. Satu hal yang perlu gita garis bawahi, banyak diantara pasukan yang gugur merupakan para penghafal Al-Quran.

Fakta diatas kemudian memunculkan kekhawatiran dalam diri Umar bin Khotob rhodiyallohu ‘anhu. Sang Al-faruq akhirnya menyampaikan usulan kepada Abu Bakar untuk menuliskan Al-Quran dalam lembaran-lembaran yang disatukan (shuhuf).

Saat pertama kali mendengar usulan tersebut, Abu bakar menolaknya dengan alasan bahwa Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tak pernah memerintahkannya. Namun setelah Umar berulangkali membujuk, akhirnya Allah subhanahu wata’ala melapangkan dada Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.

Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit rhodiyallohu ‘anhu untuk memimpin proyek besar tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab Zaid merupakan sosok yang paling memenuhi kriteria untuk mengemban tugas penting ini, sebagaimana diungkapkan langsung oleh Abu Bakar:

إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ

“Sesungguhnya engkau (Zaid) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” (HR Al-Bukhori)

Mendengar permintaan tersebut, Zaid merasa amat berat untuk melaksanakannya. Ia bahkan mengungkapkan:

فَوَ اللهِ، لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآن

“Demi Allah sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni mendokumentasikan alquran.” (HR Bukhori)

Allah subhhanahu wata’ala akhirnya melapangkan dada Zaid untuk mengemban tugas tersebut. Ia bergegas mengumpulkan Al-Quran dari berbagai media yang dahulu digunakan untuk menuliskan wahyu di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam, seperti pelepah kurma, batu yang pipih dan kulit binatang. Disamping itu, ia juga memanfaatkan hafalan para sahabat Nabi rhodiyallohu ‘anhum ajma’in.

Mengapa Al-Quran tidak dikumpulkan dalam sebuah mushaf di zaman Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam?

Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, Al-Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf di zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Para ulama menjelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, diantaranya ialah:

  1. Al-Quran tidaklah turun secara sempurna kecuali menjelang wafatnya Nabi Muhammad shollalohu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak tepat jika mushaf sudah dituliskan saat Nabi masih hidup, sebab wahyu masih terus turun dan belum sempurna.
  2. Selama Nabi masih hidup, akan ada kemungkinan terdapat ayat yang dimansukh (dihapuskan). Sehingga jika saat itu Al-Quran dituliskan dalam satu mushaf, justru akan menimbulkan kesulitan saat ada ayat yang dimansukh.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (AlHijr: 106)

Dua faktor diatas kemudian hilang seiring wafatnya Nabi Muhammad shollallohuu ‘alaihi wasallam. Sebab saat itu Al-Quran telah sempurna dan tak ada lagi kemungkinan adanya ayat yang dimansukh.

Santri Bersih Bersih - Menjaga Kebersihan Pesantren

Santri Bersih Bersih – Menjaga Kebersihan Pesantren

Santri Utrujah Bersih Bersih
share

Pesantren bukan hanya sekedar tempat menimba ilmu formal, namun juga sebagai tempat mendalami ilmu kehidupan, salah satunya adalah menjaga kebersihan.

Dampak Baik Dari Menjaga Kebersihan Pesantren :

Ketika santri mampu menjaga kebersihan pesantren, maka akan tercipta pula :

  1. Ketertiban
  2. Ketulusan Hati
  3. Kesadaran (Kebersihan membutuhkan kesadaran penuh, menciptakan koneksi spiritual dengan lingkungan dan Tuhan)
  4. Kesederhanaan (Menjaga kebersihan tanpa kelebihan atau pemborosan mencerminkan nilai kesederhanaan yang dihargai dalam ajaran spiritual)
  5. Bersyukur (Merawat kebersihan sebagai bentuk syukur atas karunia lingkungan yang diberikan oleh Tuhan)
  6. Kedisiplinan (Kebersihan mencerminkan kedisiplinan, sebuah nilai yang ditekankan dalam banyak ajaran spiritual). Dengan menjaga kebersihan, santri tidak hanya merawat lingkungan fisik tetapi juga membentuk karakter spiritual yang sejalan dengan nilai-nilai agama.

Peran santri dalam menjaga kebersihan lingkungan pesantren memiliki dampak yang mendalam, mencakup aspek fisik, spiritual, dan sosial. Santri bukan hanya menjalankan tugas fisik membersihkan, tetapi juga membentuk karakter spiritual melalui nilai-nilai seperti ketertiban, ketulusan hati, kesadaran, kesederhanaan, kedisiplinan, bersyukur, penerimaan, dan kepedulian. Melalui program gotong royong, edukasi kebersihan, pengelolaan sampah yang baik, lingkungan hijau, santri dapat menjadi agen perubahan dalam mewujudkan lingkungan pesantren yang bersih, sejuk, dan nyama

Peran santri sangat penting dalam menjaga kebersihan bukan hanya untuk kesehatan fisik, melainkan juga sebagai bentuk ibadah, pengembangan karakter, dan kontribusi positif terhadap komunitas pesantren. Program santri bersih bersih ini juga sudah lama diterapkan dalam Pondok Pesantren Tahfidz Quran Utrujah Bogor. Seluruh penghuni bertanggungjawab atas kebersihan lingkungan pesantren.Dengan demikian, kebersihan di pesantren bukan hanya menjadi tanggung jawab praktis, tetapi juga menjadi wujud nyata dari nilai-nilai spiritual yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tips Anak Betah di Pesantren - Supaya Anak Betah di Pesantren - Agar Anak Betah di Pesantren

Tips Anak Betah di Pesantren – Supaya Anak Betah di Pesantren – Agar Anak Betah di Pesantren

share

Memasukkan anak ke pondok pesantren bukanlah keputusan yang mudah bagi kebanyakan orang tua. Di satu sisi, ini adalah upaya besar dalam memberikan pendidikan agama dan membentuk karakter yang kuat bagi anak. Di sisi lain, orang tua tentu ingin memastikan anak merasa nyaman dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya.

Untuk itulah, beberapa langkah bisa diterapkan agar anak dapat merasa betah di pondok pesantren. Berikut beberapa tips agar anak nyaman di pesantren yang bisa membantu mereka beradaptasi lebih cepat:

  1. Memberikan Pemahaman yang Mendalam Sebelum Memulai
    Agar anak siap mental sebelum masuk pondok pesantren, berikan pemahaman tentang apa itu pesantren. Jangan sampai anak merasa seperti “dilempar” ke lingkungan baru tanpa tahu apa yang menantinya. Ceritakan dengan bahasa yang santai tentang kehidupan sehari-hari di pesantren serta manfaat yang akan mereka dapatkan.

Contohnya:

“Nak, di pesantren nanti kamu nggak cuma belajar agama, tapi juga belajar mandiri. Banyak hal seru yang bisa kamu dapat, seperti pengalaman tidur bareng teman-teman dan belajar dari ustadz-ustadz yang paham ilmu agama.”

Dengan pemahaman yang jelas, anak akan lebih siap secara mental dan tidak kaget dengan perubahan yang akan mereka alami.

  1. Latih Kemandirian Sejak Dini agar Adaptasi Anak di Pesantren Lebih Mudah
    Di pesantren, anak-anak akan dituntut untuk mandiri – mulai dari mengurus keperluan sehari-hari seperti mencuci pakaian, membersihkan kamar, hingga mengatur jadwal belajar. Jadi, sebelum anak berangkat, beri kesempatan untuk “latihan mandiri” di rumah. Anak yang sudah terbiasa mandiri sebelum masuk pondok pesantren akan lebih mudah beradaptasi dan tidak mudah merasa tertekan.
  1. Kenalkan Lingkungan Pesantren Sebelum Memulai
    Anak sering kali merasa overwhelmed saat pertama kali tiba di pondok pesantren. Agar anak nyaman di pesantren, ajaklah mereka berkunjung dulu ke pesantren sebelum resmi mulai tinggal di sana. Dengan cara ini, mereka akan lebih familiar dengan lingkungan baru yang mungkin terlihat asing di awal.

Misalnya:

“Ajak mereka berkeliling pesantren, tunjukkan asramanya, ruang makan, atau bahkan perkenalkan dengan beberapa santri atau ustadz agar ia bisa melihat bahwa tempat ini aman dan menyenangkan.”

  1. Bangun Komunikasi yang Hangat dengan Anak di Pesantren
    Tetap berkomunikasi dengan anak saat mereka berada di pondok pesantren. Komunikasi yang baik bisa menjadi kunci utama agar anak betah di pondok pesantren. Jadwalkan waktu untuk menghubungi mereka secara rutin dan dengarkan cerita mereka.
  1. Beri Motivasi dan Dukungan Moral yang Tepat
    Anak sering kali merasa ragu atau tidak yakin dengan alasan ia di pesantren. Ingatkan mereka tentang tujuan mulia dari pendidikan pesantren, seperti belajar agama lebih mendalam, memperkuat karakter, dan mengasah kemampuan mandiri. Dukungan moral ini sangat penting agar anak tetap semangat meskipun jauh dari rumah.

Contohnya:

“Nak, kamu tahu nggak? Di pesantren ini, kamu sedang membangun pondasi untuk masa depan. Ilmu yang kamu pelajari di sini nggak cuma buat sekarang, tapi buat bekal hidup ke depan.”

Motivasi ini bisa membantu anak merasa lebih percaya diri dan tidak mudah menyerah.

  1. Jangan Terlalu Sering Mengunjungi agar Adaptasi Anak di Pondok Pesantren Berjalan Baik
    Rasa rindu pada anak yang jauh memang sering kali membuat orang tua ingin mengunjungi mereka. Namun, kunjungan yang terlalu sering justru bisa menghambat adaptasi anak di pondok pesantren. Sesekali kunjungi anak, tapi jangan terlalu sering – berikan mereka waktu untuk membiasakan diri dengan lingkungan barunya.

Cukup kunjungi setiap beberapa bulan sekali, agar anak bisa fokus beradaptasi dan tidak terlalu bergantung pada orang tua.

  1. Bekali Anak dengan Barang yang Mengingatkan pada Keluarga
    Masuk ke lingkungan baru sering kali membuat anak merasa jauh dari rumah. Untuk mengurangi rasa rindu, bekali mereka dengan barang-barang yang bisa mengingatkan mereka pada keluarga, misalnya foto keluarga, surat motivasi, atau barang kesayangan dari rumah.

Contohnya:

“Ini foto keluarga kita, simpan di laci kamarmu. Kalau kamu lagi kangen, lihat foto ini ya. Kami selalu mendukungmu!”

Barang-barang ini bisa menjadi penghibur ketika mereka merasa rindu dan memberi semangat untuk tetap bertahan di pesantren.

  1. Jalin Hubungan Baik dengan Pengasuh atau Ustadz
    Sebagai orang tua, penting juga untuk menjaga komunikasi dengan pengasuh atau ustadz/ustadzah yang mengasuh anak di pesantren. Hal ini membantu kita memantau perkembangan anak dari sisi mereka. Dengan begitu, kita akan lebih mudah mencari solusi jika anak mengalami kesulitan beradaptasi.

Hubungan baik dengan ustadz atau pengasuh akan membuat anak merasa diperhatikan dan mendapat dukungan dari kedua pihak, yaitu keluarga dan pesantren.

  1. Ajarkan Anak untuk Bersosialisasi dengan Teman-Teman Santri
    Bantu anak memahami pentingnya bersosialisasi. Lingkungan baru kadang membuat anak merasa canggung. Dengan memiliki teman, anak akan lebih mudah merasa betah di pondok pesantren.

Beri nasihat agar mereka tidak sungkan berkenalan dan membangun persahabatan. Teman adalah sumber dukungan terbesar saat di pesantren.

Contohnya:

“Di sana, ada banyak teman seumuran kamu. Mereka juga jauh dari keluarga seperti kamu. Jadikan mereka teman dekat, kalian bisa saling bantu dan dukung satu sama lain.”

  1. Berikan Waktu untuk Beradaptasi Tanpa Terlalu Memaksakan
    Setiap anak memiliki waktu adaptasi yang berbeda. Jangan langsung khawatir jika anak belum terlihat betah dalam beberapa minggu pertama. Berikan mereka waktu untuk menyesuaikan diri. Jika anak terus-menerus merasa stres, barulah konsultasikan dengan pihak pesantren.

Demikian adalah ikhtiar yang bisa orangtua lakukan sebelum memasukkan anaknya ke pesantren, semoga dapat membantu.

Tahadduts bin Ni'mah - Menceritakan Nikmat dari Allah, Bolehkah?

Tahadduts bin Ni’mah – Menceritakan Nikmat dari Allah, Bolehkah?

share

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ [الضحى:11]

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS Adh Dhuha ayat 11).

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”

,”Dan sebagaimana kamu dahulu seorang yang sangat membutuhkan dan fakir, kemudian Allah cukupkan kamu, maka ceritakanlah kenikmatan Allah yang diberikan kepadamu. Seperti yang dimaksudkan dalam doa alma`tsur “ dan jadikanlah kami orang orang yang mensyukuri terhadap kenikmatanMu, dengan memujiMu dan menerimanya. serta sempurnakanlah kenikmatan tersebut atas kami.”

Syekh Abdurrahman assa`di menjelaskan tafsir dari ayat diatas, “

“(Dan terhadap nikmat Tuhanmu) Dan terhadap kenikmatan Rabbmu, yang mencakup urusan duniawi dan agama, (maka ceritakanlah) pujilah Allah dengan kenikmatan tersebut dan khususkan dengan penyebutan (kenikmatan yang dirasakan) jika ada kemaslahatannya. Bila tidak mengkhususkannya, maka sebutkan dengan ungkapan yang umum.

Dengan menceritakan kenikmatan Allah, akan membawa kepada rasa syukur kepadaNya, juga dapat menghantarkan hati untuk mencintai pihak yang telah memberikan kenikmatan. Karena hati terbiasa untuk mencintai pihak yang telah berbuat baik kepadanya”.

Bagaimanakah cara ber tahadduts bi an-ni’mah?

Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh bagaimana cara menceritakan nikmat dari Allah,

وعن عمرو بن ميمون قال إذا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَن يَثقُ بِه يقول له رَزَقَنِي اللّهُ مِن الصَّلَاةِ الْبَارِحَة كذا وكذا وَكَانَ أبو فراس عبد الله بن غالب إذَا أَصْبَحَ يقول لَقَدْ رَزَقَنِي اللّهُ البارِحَةَ كذا وقرأتُ كذا وصَلَّيْتُ كذا وَذَكَرْتُ الله كذا وَفَعَلْتَ كذا فقلنا له يا أبا فراس إِنّ مِثْلَكَ لَا يقول هذا قال يقول الله تعالى وَأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ وتقولون أَنْتُم لَا تَحدّثْ بنعمة الله
Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa menceritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak semua orang meganggapnya baik, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas, menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap dengan menyebut nama Allah Swt.

Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).

Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?

Kalau riya’ adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia, untuk kemudian agar dipuji manusia.

والرياء بكسر الراء والمد ومثناة تَحْتِيَةُ إِظْهَارِ الْعِبَادةِ لِيَرَاها النَّاُس فَيَحْمَدُوْهُ
Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.

Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan saja nikmat tersebut (ditutupi saja). Wallahu A’lam

Fase Orangtua Dalam Mendidik Anak - Tahapan Mendidik Anak - Membangun Karakter Anak

Fase Orangtua Dalam Mendidik Anak – Tahapan Membangun Karakter Anak

share

Bagi orang tua memberikan kasih sayang adalah hal yang wajib untuk membangun karakter anak, akan tetapi sering kali tanpa sadar orang tua sulit membedakan antara kasih sayang dengan memanjakan anak dalam kehidupan harian, hal inilah yang terkadang menjadi kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Jika anak melakukan kesalahan alangkah baik nya orang tua memberikan nasihat yang lemah lembut serta memberikan hukuman yang menjadi edukasi jika diperlukan tanpa adanya perkataan kasar dan menyakiti perasaan anak.

Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya kasih sayang itu tidak akan berada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang itu dicabut dari sesuatu, akan membuatnya buruk.” (HR Muslim). Sebagaimana dijelaskan dalam hadis diatas peran orang tua serta kasih sayang sangat menunjang perkembangan karakter anak agar anak memiliki pandangan serta perilaku yang positif dalam proses perkembangan nya.

Fase Dalam Mendidik Anak :

  1. Usia 0-6 Tahun. Rasulullah sendiri memulai proses ini ketika anak mulai memasuki usia 0-6 tahun. Karena pada usia ini anak akan merekam segala perilaku yang ditunjukan terhadap orang tua mereka oleh karena nya pada usia ini anak akan mudah berperilaku seperti yang orang tua tunjukan kepada nya.Seorang anak terlahir ke dunia dalam keadaan fitrah dan suci. Alangkah baiknya orang tua menanamkan nilai keimanan terhadap anak seperti mengenal Allah dan Rasul-Nya serta menanamkan pada anak ajaran Islam mulai dari mengajak nya untuk solat lima waktu berjamaah serta mengajarkan doa doa di dalam Islam.
  2. Usia 7-14 tahun. Pada tahap ini Rasulullah mengajarkan pada orang tua untuk senantiasa membimbing anak serta mengajak anak untuk beribadah kepada Allah. Seperti memulai untuk mengerjakan solat tepat pada waktu nya serta mulai bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah diperbuatnya. Karena pada usia ini biasanya anak mulai mencoba berekspresi sesuai keinginan nya. Oleh karena itu pendidikan orang tua dan kedisiplinan terhadap anak akan membuat anak semakin berpikir tentang perbuatan nya serta pertanggung jawaban nya.
  3. Usia 15-21 tahun. Pada tahap ini anak sudah mulai memiliki kemampuan intelektual yang sedikit lebih baik daripada fase sebelum nya. Oleh karena itu alangkah baik nya orang tua selalu membimbing anak dan membiarkan anak mulai mengamalkan ajaran yang telah diajarkan oleh kedua orang tua nya. Akan tetapi jika anak melakukan kekeliruan dalam bersikap, penting bagi orang tua untuk mengingatkan serta mengarahkan. Peran orang tua pada fase ini layak nya seorang teman yang bisa diajak diskusi serta menyelesaikan masalah agar anak lebih terbuka kepada orang tua dan hubungan dengan anak akan lebih dekat.
Uncategorized

Anak Adalah Tabungan Akhirat – Tabungan Amal Bagi Orangtua

share

Setiap manusia akan menghadapi kematian, karena ia adalah takdir yang tidak bisa dihindari, sedangkan dunia adalah tempat untuk menabung dan mengumpulkan amalan sebanyak banyaknya, karena keinginan setiap orang adalah tujuan yang satu, yaitu kembali ke Rabb-nya dalam keadaan husnul khotimah dan masuk kedalam jannah FirdausNya.

Setelah seorang muslim memahami betul hakikat hidup di dunia, dirinya akan fokus untuk melakukan kebaikan dan amal-amal soleh. Ia akan berusaha memperbanyak bekal untuk kematian.

Hanya ternyata ada amalan-amalan utama, yang apabila dilakukan akan senantiasa mengalir terus pahalanya meski kita sudah tiada. Inilah amalan yang cocok untuk menjadi tabungan akhirat kita. Karena meski seseorang telah tiada (meninggal dunia) maka ia akan terus mendapatkan pahalanya.

Baginda Nabi dalam haditsnya yang masyhur menyampaikan berita gembira tentang ‘tabungan akhirat’ ini. Dalam riwayat Imam Muslim Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara. Yang pertama sedekah jariyah. Yang kedua, ilmu yang diambil manfaatnya. Ketiga, anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.”

  1. Anak adalah Tabungan Akhirat
    Memiliki seorang anak yang soleh merupakan anugerah yang setiap orang inginkan. Bahkan Nabi dalam sabdanya mengatakan bahwa memiliki anak soleh yang mendoakan kedua orang tuanya termasuk dalam amalan yang akan terus mengalir meski seorang telah meninggal dunia. Mengapa demikian?

Anak soleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya agar selalu mendapatkan kebaikan dan keberkahan menunjukkan bahwa anak tersebut dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Jerih payah orang tuanya semasa hidup telah melahirkan seorang anak soleh yang siap taat kepada Allah. Karena itulah sudah selayaknya orang tua mendapatkan kebaikan yang serupa.

  1. Ilmu yang Bermanfaat
    Ilmu yang bermanfaat juga menjadi salah satu amalan yang senantiasa mengalir terus menerus. Seseorang yang memiliki ilmu lalu ia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada orang lain, dan orang yang ia ajarkan akhirnya mengikutinya, maka bagi yang mengajarkan mendapatkan pahala.Dan pahala tersebut akan terus mengalir selama orang tersebut mengamalkan apa yang telah diajarkan padanya. Mengenai keutamaan ilmu ini, Nabiyullah Muhammad mengatakan dalam sabdanya,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR Imam Muslim no 3509).

  1. Sedekah Jariyah
    Dalam hadits tentang tabungan akhirat diatas, salah satu amalan yang pahalanya tidak terputus meski ia telah meninggal dunia ialah sedekah jariyah.

Secara bahasa sedekah berasal dari bahasa arab ‘shodaqoh’ yang bermakna pemberian. Adapun jariyah bisa diartikan dengan mengalir. Sehingga secara bahasa sedekah jariyah artinya sedekah yang mengalir (terus-menerus).

Perlu dipahami, ada perbedaan antara sedekah biasa dengan sedekah jariyah. Suatu sedekah dapat dikatakan jariyah apabila sedekah tersebut dapat terus memberikan manfaat kepada orang lain meski sang pemberi tidak ada. Ini disebabkan sesuatu yang disedekahkan masih memberikan manfaat dalam durasi waktu yang lama.


Karena itulah sedekah jariyah diidentikkan dengan barang-barang, bangunan, yang manfaatnya terus bisa diambil. Adapun contoh sedekah jariyah seperti memberikan harta untuk pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedekah jariyah tidak memandang banyak sedikitnya harta, berapapun jumlah harta diperbolehkan. Karena titik tekannya ada pada keikhlasan pelaku dan kebermanfaatan barang.

Selama seseorang bersedekah harta yang selalu dapat diambil manfaatnya, dan dirinya melakukan hal tersebut ikhlas karena Allah, tidak mengharapkan imbalan apapun melainkan dari Allah, maka insyaAllah selama harta tersebut dimanfaatkan, selama itu pula ia akan senantiasa mendapatkan pahala dari Allah. MasyaAllah.

Adab Terhadap Guru - Adab Kepada Guru - Tata Krama dengan Guru

Adab Terhadap Guru – Adab Kepada Guru – Tata Krama dengan Guru

share

Guru adalah salah satu komponen penting dalam keberlangsungan pembelajaran, dan sejatinya murid dengan guru akan selalu berinteraksi, oleh karena itu ada adab-adab tertentu yang harus diperhatikan seorang murid terhadap gurunya sebagaimana dinasihatkan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjdudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) sebagai berikut:

“Adab murid terhadap guru, yakni: mendahului mengucapkan salam, tidak banyak berbicara di depan guru, berdiri ketika guru berdiri, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda”, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya ketika guru di dalam majelis, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.”

Berikut adalah kesepuluh adab murid terhadap guru :

Pertama, mendahului mengucapkan salam. Seorang murid hendaknya mendahului mengucapkan salam kepada guru. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa yang kecil memberi salam kepada yang besar.

Kedua, tidak banyak berbicara di depan guru. Banyak berbicara bisa berarti merasa lebih tahu dari pada orang-orang di sekitarnya. Apa bila hal ini dilakukan di depan guru, maka bisa menimbulkan kesan seolah-seolah murid lebih tahu dari pada gurunya. Hal ini tidak baik dilakukan kecuali atas perintah guru.

Ketiga, berdiri ketika guru berdiri. Bila guru berdiri, murid sebaiknya lekas berdiri juga. Hal ini tidak hanya penting kalau-kalau guru memerlukan bantuan sewaktu-waktu, misalnya uluran tangan agar segera bisa tegak berdiri, tetapi juga merupakan sopan santun yang terpuji. Demikian pula jika guru duduk sebaiknya murid juga duduk.

Keempat, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda.” Ketika guru memberikan suatu penjelasan yang berbeda dengan apa yang pernah dijelaskan oleh orang lain, sebaiknya murid tidak langsung menyangkal penjelasan guru. Sebaiknya murid meminta izin terlebih dahulu untuk menyampaikan pendapat orang lain yang berbeda. Jika guru berkenan, murid tentu boleh menyampaikan hal itu.

Kelima, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya sewaktu guru di dalam majelis. Dalam majlis ta’lim atau kegiatan belajar mengajar di kelas, murid hendaknya bertanya kepada guru ketika ada hal yang belum jelas. Hal ini tentu lebih baik daripada bertanya kepada teman di sebelahnya. Lebih memilih bertanya kepada teman dan bukannya langsung kepada guru bisa membuat perasaan guru kurang nyaman.

Keenam, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru. Guru tidak sama dengan teman, dan oleh karenanya tidak bisa disetarakan dengan teman. Seorang murid harus memosisikan guru lebih tinggi dari teman sendiri sehingga ketika berbicara dengan guru tidak boleh sambil tertawa atau bersenyum yang berlebihan.

Ketujuh, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru. Bisa saja seorang murid memiliki pendapat yang berbeda dengan guru. Jika ini memang terjadi, murid tidak perlu mengungkapkannya secara terbuka sehingga diketahui orang banyak. Lebih baik murid meminta komentar sang guru tentang pendapatnya yang berbeda. Cara ini lebih sopan dari pada menunjukkan sikap kontra dengan guru di depan teman-teman.

Kedelapan, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri. Ketika guru hendak berdiri dari posisi duduk mungkin ia membutuhkan bantuan karena kondisinya yang sudah agak lemah. Dalam keadaan seperti ini, murid jangan sekali-kali menarik baju guru dalam rangka memberikan bantuan tenaga. Ia bisa berjongkok untuk menawarkan pundaknya sebagai tumpuan untuk berdiri; atau sesuai arahan guru.

Kesembilan, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah. Jika ada suatu hal yang ingin ditanyakan kepada guru, terlebih jika itu menyangkut pribadi guru, tanyakan masalah itu ketika telah sampai di rumah. Tentu saja ini berlaku terutama kalau perjalanan dengan menaiki kendaraan umum.

Kesepuluh, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah. Dalam keadaan guru sedang lelah, seorang murid hendaknya tidak mengajukan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban pelik, misalnya. Dalam hal ini dikhawatirkan guru kurang berkenan menjawabnya sebab memang sedang lelah sehingga membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.

Demikian kesepuluh adab murid terhadap guru sebagaimana dinasihatkan oleh Imam al-Ghazali.

Peran Pesantren di Indonesia - Peran Pesantren di Masyarakat - Peran Pesantren di Nusantara

Peran Pesantren di Indonesia – Peran Pesantren di Masyarakat – Peran Pesantren di Nusantara

share

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak diperhitungkan dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.

Dilihat secara historis, pesantren memiliki peran dan pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat Indonesia. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Oleh karenanya, peran pesantren di Nusantara ini sangat amatlah penting.