Sejarah Sholat Tarawih - Hukum Sholat Tarawih

Sejarah Sholat Tarawih – Hukum Sholat Tarawih

share

Bulan Ramadhan menjadi bulan penuh berkah bagi umat Islam. Pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah Swt. Terutama shalat tarawih. Shalat ini merupakan salah satu ibadah untuk menghidupkan bulan Ramadhan pada malam hari.

Shalat tarawih memiliki keutamaan yang memang ditemukan landasannya dari sabda Nabi Muhammad Saw:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Shalat tarawih merupakan shalat khusus pada malam hari di bulan Ramadhan. Waktu pelaksanaan shalat tarawih yaitu setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir. Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan perempuan, di antaranya berdasarkan hadits yang disebutkan di atas.

Sejarah Shalat Tarawih

Shalat tarawih menjadi shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadhan. Dan shalat tarawih ini dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriyah. Pada masa itu, Rasulullah Saw mengerjakan shalat tarawih tidak selalu di masjid, terkadang juga dilakukan dirumah.

Nabi Muhammad Saw memang pernah melaksanakan shalat tarawih pada malam awal-awal bulan Ramadhan. Hingga akhirnya, saat melihat antusiasme yang begitu tinggi dari para sahabat-sahabat. Nabi justru mengurungkan niatnya datang ke masjid pada hari ketiga atau keempat.

Ada dua sebab mengapa Rasulullah tidak selalu melaksanakan shalat tarawih di masjid. Pertama, bisa jadi karena Rasulullah khawatir, karena sewaktu-waktu Allah menurunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih kepada umatnya. Tentu hal tersebut akan memberatkan umat generasi berikutnya yang belum tentu memiliki semangat yang sama dengan para sahabat Nabi itu. Kedua, Rasulullah takut timbulnya salah persepsi di kalangan umat, bahwa shalat tarawih wajib karena merupakan perbuatan baik yang tak pernah ditinggalkan Rasulullah saw.

Shalat Tarawih pada Masa Abu Bakar dan Umar Shalat tarawih adalah bagian dari shalat sunnah mu’akkadadah (shalat sunnah yang sangat dianjurkan). Jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat tanpa witir, sebagaimana yang telah dikerjakan Sayyidina Umar bin Khattab dan mayoritas sahabat lainnya yang sudah disepakati oleh umatnya. Kesepakatan itu datang dari mayoritas ulama salaf dan khalaf, mulai masa sahabat Umar sampai sekarang ini, bahkan ini sudah menjadi ijma’ sahabat dan semua ulama mazhab: Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki.

Di kalangan mazhab Maliki masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat), antara 20 rakaat dan 36 rakaat, berdasar hadist riwayat Imam Malik bin Anas radliyallahu ‘anhu bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat shalat tarawih itu lebih dari 20 rakaat sampai 36 rakaat: “Saya dapati orang-orang melakukan ibadah malam di bulan Ramadhan, yakni shalat tarawih, dengan tiga puluh sembilan rakaat—yang tiga adalah shalat witir.”

Imam Malik sendiri memilih 8 rakaat tapi mayorits Malikiyah sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah yang sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 rakaat, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’-nya. Pada masa Khalifah Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri (munfarid) atau berkelompok tiga, empat, atau enam orang.

Saat itu belum ada shalat tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid. Ketetapan tentang jumlah rakaat shalat tarawih pun belum tertuang secara jelas. Para shahabat ada yang melaksanakan shalat 8 rakaat kemudian menyempurnakan di rumahnya seperti pada keterangan di awal. Shalat tarawih berubah keadaannya ketika Umar bin Khattab berinisatif untuk menggelarnya secara berjamaah, setelah menyaksikan umat Islam shalat tarawih yang tampak tak kompak, sebagian shalat secara sendiri-sendiri, sebagian lain berjamaah.

Dari sini sudah sangat jelas bahwa pertama kali orang yang mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah adalah Sayyidina Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi. Jamaah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan jumlah 20 rakaat. Sebagaimana keterangan: عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً “Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radliyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR Malik).

Para ulama mazhab Hanbali mengatakan, ‘Hal sudah menjadi keyakinan yang masyhur di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma’ dan banyak dalil-dalil nash yang menjelaskannya.” (Mausû’ah Fiqhiyyah, juz 27, h. 142).

Shalat tarawih dan witir menjadi istimewa bukan hanya karena dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan, tapi juga lantaran keduanya dilakukan pada malam hari. Dalam Islam, di sela Ramadhan dikenal peristiwa Lailatul Qadar atau malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan. Artinya, pelaksanaan shalat tarawih dan witir, juga ibadah-ibadah lain di malam Ramadhan, merupakan kesempatan untuk meraup berlipat pahala, keutamaan dan keberkahan. Semoga kita semua dapat istiqamah menjalankannya. Wallahu a’lam bish shawab.