Uncategorized

Sejarah Puasa Ramadhan – Asal Usul Puasa Umat Islam

share

Ramadhan adalah bulan yang istimewa bagi umat Islam. Di bulan ini, kaum Muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa, menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Perintah untuk menjalankan puasa Ramadhan tidak turun secara langsung ketika Islam hadir di tanah Arab. Syariat ini diturunkan secara bertahap, menyesuaikan keadaan umat pada waktu itu.

Sejarah Puasa Ramadhan

1. Puasa Nabi Nuh AS: Awal Tradisi Berpuasa

Menurut Imam Al-Qurthubi, Nabi Nuh AS adalah nabi pertama yang melaksanakan puasa. Setelah diselamatkan dari badai besar yang menghancurkan kaumnya, Nabi Nuh AS dan pengikutnya berpuasa sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Namun, puasa yang dilakukan pada masa itu belum memiliki aturan seperti puasa Ramadhan yang kita tahu saat ini.

2. Puasa di Masa Nabi Muhammad SAW

Sebelum kewajiban puasa Ramadhan diturunkan, Nabi Muhammad SAW dan umatnya sudah terbiasa melaksanakan puasa pada hari-hari tertentu. Misalnya, puasa tiga hari setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15 (Ayyamul Bidh), serta puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram.

Pada tahun kedua Hijriah, sekitar 18 bulan setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, Allah SWT menurunkan perintah wajib puasa Ramadhan melalui surah Al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa puasa Ramadhan bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk meningkatkan ketakwaan. Puasa ini berlangsung selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, menggantikan tradisi puasa sebelumnya.

3. Rasulullah SAW dan Puasa Ramadhan

Selama hidupnya, Rasulullah SAW melaksanakan puasa Ramadhan sebanyak sembilan kali. Puasa ini menjadi salah satu ibadah yang diutamakan, sebagaimana sabda beliau:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Uncategorized

Fase Pendidikan Anak Dalam Islam – Tahap Mendidik Anak

share

Salah satu ajaran Ali Bin Abi Thalib yang terkenal di kalangan orang tua muslim yaitu tentang mendidik anak sesuai tahap usianya. Islam memberi petunjuk mengenai cara membesarkan anak dengan tiga tahapan usianya.

  1. Usia 0-7 tahun
    Pada usia 0 sampai 7 tahun, orang tua baiknya menganggap anak sebagai raja. Artinya, seluruh pendidikan agama anak masih di bawah tanggung jawab orangtua.Di usia ini pula orangtua perlu mengajarkan anak-anak tentang kebesaran Allah serta kecintaan kepada Rasulullah. Dengan catatan, orangtua perlu menjadi teladan bagi mereka.

2. Usia 8-14 tahun
Di tahapan usia selanjutnya yakni 8 hingga 14 tahun, orangtua perlu mengajarkan anak tentang hak dan kewajibannya dalam agama. Di sini, hal yang paling penting adalah salat.Tak hanya itu, di usia ini orangtua juga harus mengajarkan anak tentang berbakti kepada orang tua, berkata baik, serta berakhlak baik. Ajarkan pula pendidikan lainnya seperti bermuamalah hingga yang berhubungan dengan hablum minannas serta hablum minallah.

  1. Usia 15 hingga 21
    Pada tahapan ketiga, orangtua bisa memperlakukan anak sebagai sahabat. Di sini, orang tua tidak boleh bertindak otoriter dan perlu menanamkan nilai musyawarah. Tahapan ini merupakan tahap di mana usia anak sangat rentan. Jadi, orangtua tidak boleh memaksakan kehendak dan perlu belajar menjadi orang tua yang lebih bijak.

Makanya orang tua ini harus bijak sekali. Tidak boleh memaksakan kendak orang tua. Kita harus belajar menjadi orang tua yang bijak, menjadikan anak kita sahabat, ngobrol dari hati ke hati.

Uncategorized

Bekal Untuk Kehidupan Akhirat – Persiapan Menuju Akhirat

share

Dunia adalah tempat sementara, sebelum seluruh manusia kembali kepadaNya, siapapun kita nantinya, tempat kembali tetap sama, menuju akhirat yang kekal. Sebagai orang yang beriman, sudah sepatutnya kita menyiapkan bekal terbaik untuk menuju akhirat kelak.

Apa saja bekal yang musti kita siapkan untuk menuju akhirat kelak?

Persiapan menuju akhirat dapat dilakukan dengan beramal sholeh, bertakwa, dan bermuamalah baik dengan sesama.

Amal saleh 

  • Melaksanakan ibadah dengan tulus dan ikhlas
  • Memperbanyak zikir
  • Berdoa untuk husnul khatimah
  • Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain
  • Membantu orang yang tidak pandai berbuat baik
  • Membantu orang yang teraniaya

Bertakwa 

  • Menjaga kebersihan hati
  • Menjaga diri dari keharaman
  • Menjauhi kemurahan-kemurahan dengan memilih hukum-hukum yang berat
  • Menjauhi perkara-perkara mubah yang berpotensi mengantarkan kepada keharaman

Menjaga hubungan baik sesama manusia Menjaga hubungan baik dengan tetangga, Berlaku adil baik saat senang maupun marah, Menolong orang yang tidak pandai berbuat baik, Menolong orang yang teraniaya. 

Selain itu, kita juga dapat mempersiapkan diri menuju akhirat dengan: 

  • Bertaubat dengan segera
  • Semangat beribadah
  • Rendah hati

Semoga segala amalan kita di dunia menjadikan bekal terbaik kita untuk menghadapi akhirat kelak, aamin.

Uncategorized

Anak Adalah Tabungan Akhirat – Tabungan Amal Bagi Orangtua

share

Setiap manusia akan menghadapi kematian, karena ia adalah takdir yang tidak bisa dihindari, sedangkan dunia adalah tempat untuk menabung dan mengumpulkan amalan sebanyak banyaknya, karena keinginan setiap orang adalah tujuan yang satu, yaitu kembali ke Rabb-nya dalam keadaan husnul khotimah dan masuk kedalam jannah FirdausNya.

Setelah seorang muslim memahami betul hakikat hidup di dunia, dirinya akan fokus untuk melakukan kebaikan dan amal-amal soleh. Ia akan berusaha memperbanyak bekal untuk kematian.

Hanya ternyata ada amalan-amalan utama, yang apabila dilakukan akan senantiasa mengalir terus pahalanya meski kita sudah tiada. Inilah amalan yang cocok untuk menjadi tabungan akhirat kita. Karena meski seseorang telah tiada (meninggal dunia) maka ia akan terus mendapatkan pahalanya.

Baginda Nabi dalam haditsnya yang masyhur menyampaikan berita gembira tentang ‘tabungan akhirat’ ini. Dalam riwayat Imam Muslim Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara. Yang pertama sedekah jariyah. Yang kedua, ilmu yang diambil manfaatnya. Ketiga, anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.”

  1. Anak adalah Tabungan Akhirat
    Memiliki seorang anak yang soleh merupakan anugerah yang setiap orang inginkan. Bahkan Nabi dalam sabdanya mengatakan bahwa memiliki anak soleh yang mendoakan kedua orang tuanya termasuk dalam amalan yang akan terus mengalir meski seorang telah meninggal dunia. Mengapa demikian?

Anak soleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya agar selalu mendapatkan kebaikan dan keberkahan menunjukkan bahwa anak tersebut dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Jerih payah orang tuanya semasa hidup telah melahirkan seorang anak soleh yang siap taat kepada Allah. Karena itulah sudah selayaknya orang tua mendapatkan kebaikan yang serupa.

  1. Ilmu yang Bermanfaat
    Ilmu yang bermanfaat juga menjadi salah satu amalan yang senantiasa mengalir terus menerus. Seseorang yang memiliki ilmu lalu ia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada orang lain, dan orang yang ia ajarkan akhirnya mengikutinya, maka bagi yang mengajarkan mendapatkan pahala.Dan pahala tersebut akan terus mengalir selama orang tersebut mengamalkan apa yang telah diajarkan padanya. Mengenai keutamaan ilmu ini, Nabiyullah Muhammad mengatakan dalam sabdanya,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR Imam Muslim no 3509).

  1. Sedekah Jariyah
    Dalam hadits tentang tabungan akhirat diatas, salah satu amalan yang pahalanya tidak terputus meski ia telah meninggal dunia ialah sedekah jariyah.

Secara bahasa sedekah berasal dari bahasa arab ‘shodaqoh’ yang bermakna pemberian. Adapun jariyah bisa diartikan dengan mengalir. Sehingga secara bahasa sedekah jariyah artinya sedekah yang mengalir (terus-menerus).

Perlu dipahami, ada perbedaan antara sedekah biasa dengan sedekah jariyah. Suatu sedekah dapat dikatakan jariyah apabila sedekah tersebut dapat terus memberikan manfaat kepada orang lain meski sang pemberi tidak ada. Ini disebabkan sesuatu yang disedekahkan masih memberikan manfaat dalam durasi waktu yang lama.


Karena itulah sedekah jariyah diidentikkan dengan barang-barang, bangunan, yang manfaatnya terus bisa diambil. Adapun contoh sedekah jariyah seperti memberikan harta untuk pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedekah jariyah tidak memandang banyak sedikitnya harta, berapapun jumlah harta diperbolehkan. Karena titik tekannya ada pada keikhlasan pelaku dan kebermanfaatan barang.

Selama seseorang bersedekah harta yang selalu dapat diambil manfaatnya, dan dirinya melakukan hal tersebut ikhlas karena Allah, tidak mengharapkan imbalan apapun melainkan dari Allah, maka insyaAllah selama harta tersebut dimanfaatkan, selama itu pula ia akan senantiasa mendapatkan pahala dari Allah. MasyaAllah.

Uncategorized

Kedudukan Niat dalam Islam – Memperbarui Niat dan Meluruskannya – Keutamaan Niat dalam Islam

share

Niat merupakan inti dari setiap amal yang dilakukan oleh manusia. Dalam Islam, niat memiliki kedudukan yang sangat tinggi karena menjadi tolok ukur diterimanya suatu ibadah atau amal perbuatan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa niat yang ikhlas dan benar merupakan syarat mutlak bagi diterimanya amal di sisi Allah SWT.

Memperbaiki niat adalah keharusan setiap Muslim dalam menjalani hidup. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam menjalankan agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Ayat ini mengingatkan bahwa segala bentuk ibadah, baik yang bersifat ritual seperti sholat maupun yang bersifat sosial seperti membantu sesama, harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah semata.

Namun, menjaga niat tetap lurus bukanlah perkara mudah. Setiap manusia rentan terhadap riya’ atau keinginan untuk pamer di hadapan orang lain. Oleh karena itu, seorang Muslim perlu senantiasa bermuhasabah atau introspeksi diri agar niatnya tidak tercampuri oleh hal-hal yang dapat merusak keikhlasan. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuhmu dan tidak pula kepada rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu.” (HR. Muslim).

Dalam kehidupan sehari-hari, niat yang benar dapat memberikan dampak besar, tidak hanya pada kualitas amal tetapi juga pada ketenangan batin. Ketika seseorang bekerja, belajar, atau berbuat baik dengan niat karena Allah, segala aktivitas tersebut berubah menjadi ibadah yang bernilai pahala. Bahkan, hal-hal kecil seperti tersenyum kepada orang lain atau membantu ibu dan ayah di rumah bisa menjadi amal yang diberkahi jika diniatkan karena Allah.

Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk selalu memperbaiki niat dalam setiap langkah kehidupan. Dengan niat yang ikhlas, seseorang tidak hanya mendapatkan keridhaan Allah tetapi juga menjadi pribadi yang lebih tenang dan penuh makna. Sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, mari kita jadikan niat sebagai pondasi utama dari segala perbuatan, sehingga hidup kita senantiasa berada dalam jalan yang diridhai-Nya.

Mari senantiasa memperbaharui niat agar Allah Ta’ala memberkahi setiap amal perbuatan kita. Amin.